“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutaman.” [Q.S 3:186]
Demikianlah janji Allah. Setiap manusia akan mendapatkan ujian dalam hidupnya. Baik itu ujian dari kesusahan maupun kenikmatan. Bak ujian sekolah, setiap setelah mendapat materi pelajaran hingga tahap tertentu, pasti akan mendapat ujian untuk menguji hasil akhir yang diperoleh. Lantas, bagaimanakah kita menghadapi ujian tersebut? Jika disekolah saja kita haru benar-benar mempelajari materi yang diberikan oleh guru-guru, bagaimana dengan setiap pelajaran yang Allah berikan di setiap hembusan nafas kita?
Seperti kita tahu kisah dari ustad Yusuf Mansur, yang menemukan hidayah-Nya melalui hutang yang terbilang fantastis. Hal hampir serupa pun dialami oleh Ibnu Ruslan. Pria asal Cilegon itu merasakan manis dan pahitnya ujian hidup, tercekik hutang milyaran rupiah yang membuatnya sampai berfikir mengakhiri hidupnya dari segala penderitaan yang menghimpit hingga tak sanggup lagi untuk sekedar bernafas.
Ia teringat saat 2013 silam, kebangkrutan melandanya setelah optimis proyek yang ditafsir bernilai milyaran rupiah digandang-gandang bakal sukses. Semua surat izin dari pemerinatah maupun masyarakat sekitar telah dikantongi. Keamanan pun telah dipastikan, dengan menggunakan “pelicin” semuanya lancar-lancar saja.
Ia mengakui, padaa saat itu berharapa pada makhluk, “menuhankan” pekerjaan, suap dilakukan, bahkan menunda-nunda kewajiban yang diperintahkan Tuhannya, dilakukan pria yang akrab disapa Ibnu itu. Hingga akhirnya, Allah, Dzat Yang Maha cemburu memberikannya ujian yang tak pernah disangka-sangkanya. Proyek galian pasir yang secara kalkulasi manusia menguntungkan, dalam sekejap, kalkulasinya terbantahkan. Proyek tersebut harus ditutup oleh masyarakat karena alasan tertentu.
Gagalnya proyek membuat angka 2,9 M hutang melilit dikehidupannya. Belum lagi cicilan mobil dan kebutuhan lain sebagainya. Sekitar senilai 125 jutaan harus keluar setiap bulannya, sedangkan dana yang tersisa tinggal 500 juta.
“Bangkrut dan habis sudah, tak ada lagi yang terisia,” benaknya.
Himpitan hutang dan berbagai cobaan hidup yang menimpanya mendorongnya kepojok kemampuannya sebagai manusia lemah. Tanpa diketahui keluarga, istri dan anak, mati pun menjadi pilihannya. Bukan hanya sekedar berfikir, tindakan pun direncanakannya dengan matang.
Ditahun yang sama, saat tengah malam, ketika anak dan istrinya tengah terlelap, matanya memandangi orang-orang yang dicintai untuk terkahir kalinya.
“Allah masih sayang sama saya,” katanya.
Ditahun yang sama, saat tengah malam, ketika anak dan istrinya tengah terlelap, matanya memandangi orang-orang yang dicintai untuk terkahir kalinya.
“Allah masih sayang sama saya,” katanya.
Dua hari sebelum menjalankan eksekusi, Ibnu menonton tv, berniat mencari chanel olahraga. Namun, tanpa disadari ia melihat acara chatting bersama UYM. Bahkan, ia sempat bergumam, “ah, enak sekali hanya bicara saja, orang sedang punya masalah hutang malah disuruh sedekah.”
Antara didengar dan tidak didengar, ia menyaksikan acara tersebut hingga selesai. Setelah itu ia bergegas melaksanakan shalat.
Tibalah hari yang sudah ditetapkan untuk mengeksekusikan niatnya. Saat itu syetan pun kembali berbisik, “daripada menanggung malu dan hutang yang sangat besar, lebih baik sudahi saja.”
Namun, seketika ia terbesit untuk mengambil air wudhu sebelum menuju ke rel kereta tempat ia akan mengakhiri hidupnya. Mungkin ini tuntunan dari Allah, bantuan dan petunjuk dari-Nya. Setelah berwudhu, ia pun berlanjut shalat dua rakaat, tak tertinggal pula membaca Alqur’an.
“Entah kenapa, ayat yang saya baca berisi tentang seberat apapun masalahmu, kembalilah pada-Ku dengan taubatan nasuha,” terang Ibnu.
Alhamdulillah, setelah itu ia merasa Allah memberikan kekuatan kepadanya. Pasrah, itulah yang ia lakukan. Kembali membenarkan cara shalat, melengkapi ibadah dengan sedekah. Bismillah, ia berikhtiar meyakini kekuasaan dan kehendak Allah SWT, kun fayakun.
Sejak saat itu, perlahan-lahan ia mulai kembali memperbaiki kehidupannya. Hingga diperkenalkan dengan beberapa teman dari PPPA Daarul Qur’an. Seperti mendapat dorongan, jika sudah diberi kemudahan, berbagilah dengan orang lain. Karena masih banyak diluar sana, orang-orang yang mungkin masih belum mengetahui bagaimana cara mengatasi masalah. Akhirnya ia pun memutuskan untuk menjadi simpul sedekah.
“Alhamdulillah, dalam kurun waktu enam bulan hutang sudah berkurang, tagihan bank pun terlunasi. Saat ini saya tidak bermain kontraktor lagi, tetapi melanjutkan usaha dagang dan hidup sederhana bersama keluarga Allah,” imbuhnya.
Termotivasi agar bermanfaat untuk orang lain, ia memilih untuk mendirikan rumah tahfidz, taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, hingga pesantren takhasus. Sedikitnya terdapat ratusan santri mukim dan non-mukim yang mengenyam pendidikan disana. Meskipun keseluruhan hutang belum terbayarkan, tetapi kekhawatiran tidak menyelimutinya.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [Q.S Muhammad : 7]
“Serahkan saja semua urusan dan hutang kepada Allah, biarkan saja Allah yang bekerja. Nikmati saja hutangnya, semoga Allah menghapuskan ribanya,” tutup pria berusia 39 tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar